Rabu, 14 November 2012

Rumah di dalam Rumah


Di setiap aspek kehidupan kita, entah di sekolah, kampus, pekerjaan atau malah hubungan sosial sebenarnya sudah ada aturan yang dibuat. Aturan itu sudah mengikat untuk semuanya. Namun entah bagaimana selalu bisa muncul aturan di dalam aturan tadi. Misalnya : selain aturan umum yang berlaku di suatu perusahaan, maka masing-masing kepala bagian rupanya membuat aturan-aturan tambahan lagi yang khusus untuk mengatur wilayah wewenangnya.

Apakah salah jika terjadi hal tersebut?

Mula-mula kita harus terlebih dulu memahami kenapa bisa muncul sub-aturan tadi. Apa sebenarnya maksud dimunculkannya aturan tersebut. Pada dasarnya semua aturan dimaksudkan untuk kebaikan orang-orang yang berada di dalam lingkupnya, namun tentu tetap harus dipahami kenapa aturan itu harus ada. Selain itu tentunya sub-aturan itu tidak boleh bertentangan dengan aturan baku yang diberlakukan.

Namun satu hal yang harus dipahami oleh para pembuat sub-aturan itu adalah kemungkinan terjadinya pertentangan di dalam benak orang-orang yang diikat aturan tersebut sehingga bukan tidak mungkin malah akan membahayakan stabilitas wilayah wewenangnya, terlebih lagi jika ternyata sub-aturan yang dibuat terkesan terlalu membatasi atau semakin membebani pihak-pihak yang diikatnya itu.

Oleh karena itu ada baiknya jika seluruh aturan beserta sub-aturan itu diketahui, dipahami, dan dijalankan dengan baik oleh semua pihak sebagai aturan yang menyeluruh. Kan rasanya aneh plus tidak sehat jika masing-masing bagian menjadi alien bagi yang lain hanya karena terlalu banyak sub-aturan yang berbeda-beda sehingga rawan perpecahan.

Terlebih lagi jika ternyata maksud dimunculkannya sub-aturan itu hanya karena si atasan tidak ingin posisinya digoyahkan. Waduh, bakalan terjadi kudeta lho. Hehe…

Jumat, 31 Agustus 2012

Sebuah Dunia Impian Bernama Iklan


Iklan. Setiap hari kita semua rasanya tidak pernah luput darinya. Mulai dari bangun tidur hingga akhirnya tidur kembali. Atau jangan-jangan juga di dalam mimpi kita masih juga bertemu iklan? Ada yang seperti itu? Kalo aku sih... Yah nggak inget hehe.

Sudah puluhan tahun aku dan mungkin juga teman-teman dicekoki pemandangan indah nan menyilaukan yang dihadirkan lewat iklan, sampai-sampai pernah terbersit di pikiranku betapa enaknya jika bisa hidup di sana, di dunia iklan. Ya. Di mataku dunia yang dihadirkan oleh iklan-iklan itu begitu indah dan yah aku memang sering kali bermimpi untuk bisa tinggal di dalamnya.

Siapa yang tidak berminat untuk tinggal di dunia yang begitu damai, tertata dan ideal? Dunia di mana segala keajaiban terjadi dengan begitu mudahnya. Bayangkan kita yang di dunia nyata harus jungkir balik membersihkan lantai yang kotor meski menggunakan produk yang sama dengan yang diiklankan, sementara di iklan hanya dengan sekali usap seluruh lantai bersih seketika dan muncul bunga-bunga. Bahkan dunia sihir Harry Potter juga lewat.

Ingat-ingat juga kapan terakhir kali kita dihadiahi senyum manis dan pelayanan prima di tempat-tempat layanan umum pemerintah seperti di iklan-iklan itu? Nyaris tidak pernah. Apalagi dengan segala proses njelimet plus mahal yang harus kita lalui untuk mendapatkan pelayanan yang didengung-dengungkan mudah plus gratis di iklan. Dan yang paling gampang nih, kapan sih kita ketemu polisi yang ramah dan santun seperti yang ditampilkan di iklan-iklan layanan masyarakat itu? Yang ada kita bawaannya malah keder dan pengen kabur kalo ngeliat mereka.

Bahkan dengan segala kejadian miris yang ramai membanjiri kanal-kanal berita jujur saja membuatku beneran tidak nyaman dan sangat yakin ini bukan dunia yang kita mau. Apakah memang cita-cita kita untuk hidup di dunia yang manusianya menganggap nyawa tidak berharga sehingga memperlakukannya seenak hati? Semua itu tentunya juga bertolak belakang dengan iklan-iklan yang menampilkan sosok-sosok manusia berhati mulia yang siap membantu sesama dengan senyum tulus terkembang di wajah. Iklan-iklan yang menampilkan orang-orang yang sejuk tanpa terbersit kebencian. Bertolak belakang sekali dengan kenyataan.

Ah, tapi itu kan cuma iklan...

Mungkin begitulah pandangan sinis beberapa orang, tapi menurutku mereka lupa satu hal. Iklan sebenarnya bukanlah hanya alat komersil untuk menjebak orang-orang dengan kemilaunya. Menurutku iklan, apa pun bentuknya adalah semacam manifestasi harapan dan impian orang-orang akan dunia yang ideal tadi.

Dan jujur saja dengan semakin tipisnya kenyamanan saat berusaha memandang realita kehidupan yang dipajang di kanal-kanal, aku jadi lebih suka manteng iklan. Lebih sejuk buat mata, pikiran, dan jiwaku. Halah!

Sabtu, 25 Agustus 2012

Mereka yang pernah hadir : Lima Sekawan bag.3


Ada banyak kucing-kucing di sekitar kami. Tetangga kami juga memelihara kucing, tapi mungkin perlakuan mereka tidak sama seperti kami. Bisa dibilang kami terlalu memanjakan binatang-binatang egois itu sampai pada level yang berbahaya *lebay*.

Kucing-kucing di rumah kami makan bukan dari sisa makanan kami. Meskipun tidak memakan catfood kalengan yang harganya pasti tidak terlalu bersahabat buat kami saat itu. Kami selalu membelikan mereka ikan khusus, hingga akhirnya Nyokap memutuskan berlangganan dengan seorang tukang ikan keliling supaya tidak terlalu repot tentang kesediaan bahan makanan kucing peliharaan kami.

Hingga pada suatu hari, entah bagaimana kucing-kucing itu mulai berguguran satu per satu. Mungkin keracunan ikan atau entah apa karena anjing kami yang juga memakan ikan yang sama tidak mengalami kejadian aneh. Mungkin karena kucing-kucing itu awalnya berasal dari jalanan sehingga sudah membawa penyakit masing-masing.

Kucing yang pertama mati adalah Piko. Dia aku temukan tergolek di lantai dekat kamar mandi saat aku akan mandi di pagi itu. Lalu beberapa hari kemudian Nike menghilang sebelum akhirnya kami temukan dia tergolek mati di dalam bak kosong di sebelah rumah. Kesedihan kami masih belum berakhir karena suatu hari hidung Bopi selalu mengeluarkan darah segar dan dia pun menyusul mati.

Hingga suatu hari saat kami pulang sekolah, Nyokap menyambut dengan mata sembab dan mengabarkan Bola juga sudah mati. Kami sekeluarga pun berkabung atas kejadian itu. Ketika yang tersisa akhirnya Tauco, kami selalu diliputi kecemasan tentang kapan dia akan menyusul teman-temannya yang lain. Tapi dia masih bertahan, meskipun kondisinya tidak terlalu baik. Kami berusaha merawatnya, memberinya makan, bahkan mengobatinya. Dan ketika kondisinya terlihat mulai membaik, mendadak saja dia menghilang. Berhari-hari kami mencarinya hingga ketika akhirnya menemukannya juga sudah dalam kondisi tak bernyawa.

Saat itu kami tak lelah mengutuki tukang ikan yang mungkin begitu tega tetap menjual ikan-ikan yang sudah tidak layak dan Nyokap berhenti berlangganan dengannya. Terlepas apakah memang ikan itu yang menjadi biang kerok atau bukan, tapi kami terlanjur patah hati atas kehilangan yang terlalu beruntun itu.

Bahkan sampai sekarang aku masih bersedih jika mengingatnya...

Kamis, 16 Agustus 2012

Mereka yang pernah hadir : Lima Sekawan bag.2


Kebersamaan dengan lima sekawan cukup mengasikkan dan itu mengisi sebagian besar waktu kami yang sedang belajar untuk mencintai makhluk selain kita, dalam hal ini adalah kucing.

Aku nggak tau bagaimana orang menikmati waktu bersama kucing-kucingnya, tapi kami bisa dibilang sangat luar biasa. Bagaimana gak? Kami seringkali suka lupa mereka adalah kucing, sehingga memperlakukan mereka layaknya boneka. Beneran. Mereka (gak pedulu jantan atau betina) kami pakaikan baju-baju selayaknya putri-putri raja dengan gaun-gaun panjang nan anggun. Sayang banget saat itu belum seperti sekarang dimana kita bisa dengan mudah memotret lalu upload, jadi kenangan tentang kelucuan itu hanya bisa direkam di dalam ingatan. Kami memang tidak selalu mendandani mereka. Ada kalanya mereka cuma kami ninabobokan di pangkuan. Dan seringkali mereka yang pertamanya menolak, toh akhirnya pules juga.

Tapi mereka yang pastinya sangat sadar kodrat mereka sebagai kucing jelas saja menolak aksi kami mengunyel-unyel mereka, meski karena gemes melihat kelucuan mereka. Maka mereka seringkali menghabiskan waktu melepas beban dunia (ceile) di atas atap dan itu jelas merepotkan saat kami sedang sakaw pengen main dengan mereka.

Aku ingat bagaimana taktik kami untuk mengumpulkan mereka agar bisa memulai acara ’arisan meong’. Kami berpura-pura membuatkan makanan buat mereka sembari memanggil-manggil ’Manis’, yah pokoknya mengikuti prosesi penyediaan makanan buat mereka. Nah setiap kali alarm itu berbunyi maka Tauco cs pun akan berlompatan turun. Nah saat itulah kami langsung menangkap mereka satu per satu untuk diajak bermain. Bisa kubayangkan dalam hati mereka pasti nggerundel sebel hehe...

Beberapa kali mereka memang tidak memakan umpan yang kami lemparkan, tapi toh tetap saja kami berhasil membodohi. Tapi nggak jelas juga, mungkin karena mereka kasian melihat kami yang udah kecanduan mereka jadi mengikuti kemauan kami saja, ya?

Yah, kalo sudah begitu tidak jelas lagi siapa yang sedang diperbudak. Nasib deh karena gagal move on hihi...

Senin, 13 Agustus 2012

Mereka yang pernah hadir : Lima Sekawan bag.1


Aku tidak ingat pastinya kapan, tapi seekor kucing berwarna kuning cemerlang dengan liris dan bola cokelat  muncul di rumah kami. Nyokap sangat menyayangi kucing yang bossy itu dan langsung menamainya Tauco. Tauco kalo digambarkan serupa perempuan cantik yang nge-boss. Dia yang mengatur kapan pengen disentuh atau tidak. Dan karena Nyokap sangat sayang kepadanya sudah barang tentu kami jarang dapat kesempatan bermain dengannya.

Hingga suatu sore ketika kami sedang bermain di halaman, mendadak kami melihat anak-anak tetangga sedang mem-bully seekor kucing berwarna kuning seperti Tauco. Kami pun langsung bertindak untuk menyelamatkannya sembari berkata, ”Itu kucing kami!”. Anak-anak pembully itu pun melepaskan kucing malang itu dan langsung kami bawa pulang. Nah ketika tiba di dalam ternyata si Tauco sedang asik pulas di pangkuan nyokap. Jika itu Tauco, lantas kucing yang kami bawa ini siapa? Apalagi setelah diteliti ternyata leher kucing malang ini terluka seperti digigit. Kami tidak tega membuangnya, dan karena itu kami pun memeliharanya dan menamainya Niki. Luka di leher Niki kami rawat hingga sembuh. Niki adalah kucing jantan yang tidak banyak tingkah plus tak berdaya ketika dibully. Apalagi oleh Tauco yang nge-boss. Tapi setidaknya sekarang kami punya kucing untuk bermain.

Setelahnya kucing-kucing lain bermunculan. Kucing ketiga yang muncul adalah Piko dengan warna abu-abu plus liris hitam di tubuhnya. Piko juga muncul entah dari mana dan sifatnya mirip dengan Tauco meskipun dia jantan. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana mereka saat sedang makan. Bisa brantem.

Tidak lama setelah Piko muncul kucing betina lain yang karena motif bulunya dinamai Nyokap si Bola. Setelah kehadirannya, porsi si Tauco pun berkurang karena sekarang Nyokap lebih senang bermain dengan si Bola. Hal ini membuat si Tauco mulai menurunkan gengsinya dan mau ’bergaul’ dengan kami.

Dan setelah Bola, muncul lagi seekor kucing. Kali ini kucing itu sangat berbeda dari kucing-kucing sebelumnya yang berekor pendek. Kucing ini berwarna abu-abu dan ekornya lurus panjang. Kami pun menamainya si Bopi.

Nah, sudah ada lima ekor kucing dan kami bisa sama-sama menikmati saat-saat bahagia bermain dengan mereka. Tauco, Niki, Piko, Bola, dan Bopi. Kucing-kucing lucu yang saat jam makan tiba semuanya tetap kami panggil dengan satu panggilan : Manis.

Hahaha... Mungkin kami memang gak pernah bisa move-on dari kenangan ’Manis’?

Jumat, 10 Agustus 2012

Mereka yang pernah hadir : Kenangan Manis


Ortu kami punya langganan bidan yang sering juga bertugas ganda sebagai dokter anak. Dia bidan yang sangat baik dan sabar, kami bahkan sering dikasih vitamin gratis. Nah bu bidan ini juga memelihara buanyak sekali kucing. Ada beberapa yang disterilkan agar komunitasnya tidak meledak.

Nah suatu hari saat nyokap membawa adik berobat, maka mereka ngobrol ngalor ngidul dan entah bagaimana akhirnya ketika pulang mereka membawa seekor kucing. Kucing betina itu sudah disteril dan lucu sekali. Dan lagi-lagi kami namai dia si Manis.

Tapi berbeda dengan generasi yang sebelumnya, si Manis yang ini beneran manis. Dia suka sekali bermanja-manja dan kami pun akhirnya menikmati waktu berkualitas (halah) bermain dengan kucing. Si Manis suka menguntit kami kemana pun dan tidak lupa membelai-belaikan tubuhnya ke kaki kami ketika kami sedang makan. Pokoknya si Manis menjadi idola di rumah deh.

Si Manis juga suka mengendap-endap ke tempat tidur untuk tidur bersama-sama kami. Rasanya lucu ketika bisa merasakan bulunya yang lembut dan hangat, apalagi kalo dia sudah tidur di dekat telinga. Dengkurannya yang halus bikin kami gemes. Ortu selalu melarang kami membawa si Manis bobo bareng, tapi entah bagaimana si Manis tetap saja nekad. Yah, mungkin dia berjiwa sosialita hehe... Si Manis kucing gaul (halah).

Hingga suatu pagi ketika kami bangun seperti biasa, tidak lagi terdengar dengkuran si Manis. Bulunya yang lembut juga tidak hangat. Akhirnya kami sadar si Manis sudah mati. Mungkin tanpa sadar tergencet oleh adik kami.

Kami sangat sedih kehilangan si Manis yang sudah menemani kami dengan manisnya selama beberapa bulan itu. Meskipun kebersamaan kami singkat, tapi kenangan si Manis tetap tertinggal hingga sekarang.

Pelajaran :
Bahaya selalu mengintai, bahkan dalam bentuk yang paling tidak berbahaya. Waspadalah... Waspadalah...

Kamis, 09 Agustus 2012

Mereka yang pernah hadir : Manis Pahit


Setelah Duo Manis minggat, cukup lama kami tidak memelihara kucing. Istilahnya saat itu kami berpikir, kalo ada syukur kalo tidak yah tidak apa-apa. Status kami saat itu adalah ’jomblo’ di dunia memelihara kucing.

Sampai suatu hari muncul seekor kucing entah dari mana. Warnanya kuning pucat, dan karena kebetulan dia betina kami pun langsung memanggilnya si Manis. Ok, memang perbendaharaan kami tentang nama-nama kucing payah, tapi ya hanya itu nama yang terpikir. Si Manis edisi terbaru ini juga sudah dewasa, bahkan dia lagi hamil. Mungkin dia nongol di rumah kami saat sedang sibuk mencari tempat beranak.

Jadilah si Manis tinggal bersama kami hingga akhirnya dia melahirkan. Dia melahirkan tiga ekor anak yang jujur saja membuatku bergidik. Yah anak-anak kucing itu masih begitu kecil dan botak. Belum berbulu. Mirip tikus. Dan anehnya sodara-sodara... si Manis sebagai induk enggan mengasuh mereka. Tidak juga mau menyusui. Hanya sibuk ingin bermain bersama kami. Mungkin dia sedang mengalami sindrom Baby Blues atau emang blom puas ajah bermain-main karena keburu hamil, entahlah. Nyokap yang harus turun tangan mengurus bayi-bayi itu dengan memberi air tajin sebagai pengganti susu, sementara si Manis yang meskipun sudah kami paksa (sengaja menidurkannya di samping bayi-bayinya) tetap enggan. Hingga akhirnya bayi-bayi itu pun mati.

Setelah bayinya mati, si Manis menghilang. Minggat entah ke mana. Hingga suatu hari dia muncul, lagi-lagi dengan perut gendut ingin melahirkan. Mungkin dia berpikir rumah kami itu adalah tempat bersalin yang sangat pas, ya hehe... Nah kali ini dia melahirkan di luar rumah, di sebuah bak kosong. Dan lagi-lagi dia terkena sindrom Baby Blues hingga kami bahkan pernah sampai menutup bak itu dengan papan agar dia tidak kabur meninggalkan anak-anaknya, tapi ya tetap saja dia enggan merawat mereka. Hingga akhirnya kembali lagi bayi-bayi itu mati.

Kami tentu saja sangat sedih dan kesal kepada si Manis yang kayaknya gak bertanggung jawab. Entah kenapa dia ogah mengurusi anak-anaknya. Tapi setelah kematian anak-anaknya yang terakhir si Manis seperti stress gituh. Dia sering mengeong tanpa alasan dan kayak mencari-cari. Nyokap bilang sih dia mungkin kecarian dan terbayang anak-anaknya. Atau mungkin menyesal. Entahlah.

Si Manis terus saja bertingkah aneh hingga suatu malam saat kami sekeluarga sedang duduk santai di luar rumah, dia terlihat di seberang jalan. Rumah kami memang terletak tepat di tepi jalan lintas Sumatera yang ramai. Lalu tanpa aba-aba dia pun berlari menyeberang dan tertabrak mobil. Kami yang melihat langsung kejadian itu langsung histeris. Akhirnya aku dan nyokap menghampiri si Manis yang sudah tergolek tak bergerak. Tubuhnya lembek sekali. Lalu mengangkat dan menguburnya di kebun seberang jalan itu.

Sampai sekarang aku masih suka gak kuat kalo melihat kucing menyeberang dan kayak kebingungan di tengah jalan. Jadi ingat si Manis yang menjalani hidup yang pahit. Namun setiap ingat si Manis, aku jadi berpikir ada kalanya kita harus lebih kuat meskipun sedang mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan. Seperti dia terhadap anak-anaknya.

Pelajaran :
Lakukan dan terima dengan iklas apa pun yang kita temui di perjalanan hidup. Melarikan diri atau menolak bertanggung jawab atasnya hanya akan menyisakan penyesalan.

Rabu, 08 Agustus 2012

Mereka yang pernah hadir : Duo Manis


Sesuai dengan permintaan seseorang untuk didongengin tentang ‘mantan-mantan’ yang pernah hadir mengisi hidupku dan sodari-sodariku di masa lalu, maka untuk beberapa hari ke depan aku akan mulai menceritakan mereka satu per satu karena memang daftarnya panjang hehe… Tuh kan, ketauan aku ini ‘player’ :D

Kisah tentang mantan-mantan-ku akan dimulai dari Duo Manis. Ya bukan hanya Maiya Estianty yang bisa bikin Duo Maia. Kami malah pernah lebih dulu disantroni Duo Manis.

Saat itu  entah dapat wahyu dari mana, ortu memutuskan untuk memberi kami teman bermain berujud makhluk berbulu yang menggemaskan namun hobi mencakar. Yak, kami diberi hadiah dua ekor kucing. Kucing-kucing itu kami ambil dari rumah nenek. Umur mereka sudah lumayan dewasa karena ortu mungkin berpikir ribet kalo mengurusin yang masih bayi lagi. Tapi itu juga letak kesalahannya, karena mereka sudah dewasa maka otomatis lebih gede ego-nya sehingga pastinya amat sangat bandel. Duo Manis ini bahkan tidak segan-segan mencakar kami, dan cakarannya itu sungguhan. Sungguhan melukai.

Si Manis pertama betina berwarna hitam dengan liris abu samar, sementara yang kedua jantan berwarna abu-abu. Dan dengan segala pemberontakan mereka, akhirnya kami tidak pernah benar-benar merasakan bermain asik bersama mereka. Mereka bahkan milih-milih makanan. Ampun deh. Bukannya asik, yang ada malah kami yang saat itu masih kecil-kecil rada ketakutan dengan mereka. Hanya bisa memandang dari jauh (halah). Karena kalo kami membelai saat mood mereka lagi buruk, langsung dapat hadiah cakaran.

Kalo sudah begitu rasanya wajar aja jika hubungan kami pun berumur pendek. Dan lagi-lagi bukan kami yang memutuskan untuk menyudahi hubungan yang tidak sehat itu. Duo Manis lebih dulu memutuskan untuk minggat ketika kami sedang pergi liburan dan itulah kegagalan pertama kami menjalin hubungan dengan kucing.

Pelajaran :
Hubungan yang tidak sehat memang harus disudahi...

Kamis, 02 Agustus 2012

I am in Heaven

Hari ini aku girang serasa di surga.
Ya.
Cuma mau nyampein itu aja.
yang mungkin sepele tapi aku perlu sebagai penanda

Rabu, 01 Agustus 2012

Bullying => Mental Orang Indonesia..???

Lagi-lagi media kita diributkan dengan kasus bullying yang kali ini berlangsung di salah satu sekolah terkemuka di ibukota. Sebelumnya juga kita sudah pernah dihadapkan pada berita-berita bullying yang bahkan dilakukan di sekolah yang akan mencetak calon-calon pemimpin negara ini. Bullying bukan kita saksikan juga bukan lagi sekedar di sekolah-sekolah itu, melainkan di dalam kehidupan sosial sehari-hari. Kelompok mayoritas melakukan aksi bullying kepada kelompok minoritas yang tidak sepaham, bahkan mungkin para koruptor sedang asik membully para penegak hukum yang jujur di negara ini.

Melihat semua itu jujur saja aku jadi bertanya-tanya dimana sifat dan mental bangsa yang selama ini kita dengung dan agungkan? Segala mental dan sifat yang damai dan sejuk itu seolah-olah menghilang tak berbekas berganti dengan sikap yang panas dan kasar. Apakah bullying itu memang sifat sejati bangsa ini? Atau mungkin ada semacam virus tak terdeteksi yang diam-diam sudah menjangkiti semua seperti di film-film zombie itu?

Seringkali kita melihat pembahasan tentang kenapa sifat-sifat bullying itu bisa muncul karena sejatinya tidak ada apa pun yang mendadak muncul tanpa pemicu atau bibit yang tumbuh jika tidak dirawat dan dipupuk. Banyak para ahli yang mempercayai bahwa keluarga yang harusnya diperkuat untuk bisa membentengi anak-anak dari virus berbahaya itu.

Namun kita juga bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa sistem pendidikan dan pengasuhan anak-anak dewasa ini sudah sangat jauh berbeda. Seberapa banyak keluarga yang hanya mendidik anak-anaknya dengan materi? Para orang tua rata-rata berpendapat dengan hanya melengkapi kebutuhan materi maka mereka sudah melakukan yang terbaik. Betapa banyak orang tua yang seolah sudah tidak sempat lagi mendidik anak-anaknya tentang budi pekerti, dan beranggapan itu adalah tugas guru di sekolah. Mereka terkesan 'lepas tangan' dan sebagai ganti anak-anak itu akan mencari sendiri dari luar sehingga seringkali anak-anak itu terseret ke nilai-nilai yang tidak baik.

Betapa banyak orang tua yang karena keterbatasan waktu akhirnya memilih untuk membiarkan anak-anaknya melakukan yang mereka suka karena berpikir itu adalah salah satu cara mereka menebus kekosongan yang tercipta di antara mereka selama ini. Anak-anak tumbuh tidak terkendali dengan segala pandangan dan pendapatnya yang sangat mungkin melenceng. Anak-anak tumbuh menjadi raja di rumah orang tuanya dan sifat itu terbawa ke luar.

Betapa banyak orang tua yang karena merasa sudah tua maka memutuskan untuk berhenti belajar dan hidup. Mereka begitu jauh tertinggal informasi sehingga anak-anak akan semakin mudah mematahkan argumentasi mereka dengan alasan perbedaan zaman. Orang tua harusnya tetap bisa memantau dan terus mengupdate diri agar bisa membentengi anak-anak mereka dari kemungkinan membully atau dibully.

Sebenarnya sangat banyak penyebab muncul dan suburnya sifat bullying itu belakangan ini. Namun yang pasti adalah kepedulian orang tua atas perkembangan anak-anaknya yang sangat utama. Kenapa harus mencekoki anak-anak dengan segala materi dan kemudahan tanpa ada rambu-rambu hanya agar bisa terbebas dari tanggung jawab sebagai orang tua yang sebenarnya?

Jika memang demikian maka jangan heran jika suatu hari bangsa ini akan berubah menjadi bangsa zombie. Bangsa zombie yang kelihatan hidup namun sebenarnya sudah mati dan membusuk. Dan pastinya harus dimusnahkan.

Selasa, 31 Juli 2012

Kenapa cuma saat Ramadhan?

Ramadhan sudah sepertiga jalan dan suasananya semakin riuh dengan ramainya undangan-undangan Buka Bersama. Tidak jarang kita mendapat beberapa undangan berbuka dari kelompok teman yang berbeda-beda. Dan itu bukan hanya terpusat bagi yang menjalankan ibadah Puasa, yang tidak puasa juga acapkali ikut-ikutan heboh kalo udah urusan kumpul-kumpul saat buka bersama.

Aku juga sudah berbuka bersama dengan teman-teman kuliahku dulu dan jujur saja meski awalnya cuma untuk kumpul-kumpul toh tetap saja si pemilik ide (panitia) agak senewen. Senewen mencari tempat berbuka yang asik plus menu dan harga. Senewen soal pengaturan agar tidak ada yang terlambat apalagi lalulintas menjelas berbuka biasanya kurang bersabahabat. Yah semacam itulah. Aku sih senang-senang saja menghadiri acara-acara semacam itu, berkumpul dan bertukar kabar dengan teman-teman atau istilahnya bersilaturahmi.

Tapi yang jadi pertanyaan adalah 'Kenapa cuma saat Ramadhan?'

Sebenarnya bukan hanya bersilaturahmi dengan teman-teman, bahkan dengan segala atribut dan kegiatan yang mengetengahkan hal-hal berbau rohani. Yang biasanya hobi buka-bukaan maka selama Ramadhan mendadak mahir berbusana sopan. Yang biasanya selalu tersesat kalau mau ke rumah ibadah, mendadak jadi aktif. Orang-orang jadi giat 'belajar' kembali tentang isi kitabnya. Apakah kita hanya tergerak melakukan semua itu saat Ramadhan? Apakah rasanya kurang pas jika kita melakukannya sepanjang tahun? Apakah karena di bulan Ramadhan pahalanya lebih besar dan karenanya kita merasa 'sia-sia' jika melakukannya di hari-hari lain?

Apalagi mungkin demi acara 'silaturahmi mumpung Ramadhan' itu tidak jarang orang-orang jadi melupakan hakikat ibadah itu sendiri. Ada yang pengen 'silaturahmi' di tempat mentereng dan bergengsi, tak masalah harga selangit. Pokoknya yang penting wah. Padahal kalo emang tujuannya bersilaturahmi tidak masalah dimana. Tidak perlu juga makanan yang semewah gimana. Di rumah sendiri malah lebih bagus, sembari menikmati santapan yang wajar sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga besar. Jadi kadang orang suka lupa konsep berpuasa yang menahan hawa nafsu (termasuk nafsu berpamer), dan malah terang-terangan mengumbar nafsu.

Entahlah. Tapi secara pribadi aku berharap semua itu tidak hanya saat Ramadhan. Kenapa tidak sepanjang tahun, setiap hari, sepanjang waktu? Bukankah dengan 'suasana Ramadhan' sepanjang tahun mudah-mudahan kehidupan juga lebih damai? Orang-orang akan tetap menjaga hawa nafsu, menjaga tali silaturahmi dan memiliki keluasan hati untuk selalu berbagi.

Ah, entah kapan...??

Jumat, 27 Juli 2012

Puasa atau 'Puasa'?

Hari ini seperti biasa aku pulang diantar angkot yang baik hati. Ya, baik hati karena meskipun penumpangnya belum terlalu penuh, namun pak sopir tetap membawa angkot dengan kecepatan yang wajar. Kecepatan yang tidak akan mengaduk-aduk isi perut dan kepala. Jika aku saja yang tidak menjalankan ibadah puasa bisa mual dan pusing, lah gimana lagi dengan penumpang lain yang mungkin sedang berpuasa?

Syukurlah hal itu tidak terjadi, terima kasih kepada sopir angkot yang baik hati.

Namun lepas dari penderitaan guncangan di angkot serampangan, maka muncul lagi derita lainnya. Kok bisa? Iya tuh, soalnya di sepanjang jalan sudah berderet dengan manis para penjaja makanan untuk berbuka. Beraneka ragam makanan kecil hingga yang berat berjejer rapi memamerkan hidangan warna warni beragam bentuk yang jujur saja membuat liurku menitik.

Waduh, aku yang tidak berpuasa ajah rasanya pengen menghambur turun menghampiri kue-kue yang rasanya pasti enak itu, gimana dengan yang puasa ya? Oke, itu tadi hanya di benakku saja yang emang suka keranjingan malah paling rajin mengingatkan staff yang berpuasa untuk berburu tajil (aku pastinya ikutan nitip hihi).

Namun kejadian itu lantas membuatku malu sendiri sekaligus semakin kagum dengan orang-orang yang sanggup menjalankan ibadah berpuasa tanpa terpengaruh dengan pajangan yang memancing liur itu. Mereka bisa dengan bersahaja beribadah bahkan di saat berbuka tidak lantas menuruti hawa nafsunya untuk menyantap makanan dengan berlebihan. Berapa banyak kita lihat orang-orang yang begitu bernafsu dan lupa diri kala waktu berbuka tiba? Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu berbuka untuk bersantap sepuasnya dan melupakan sholat. Bagi mereka bersantap lebih penting ketimbang 'menghadap' kepadaNya sekedar untuk menyampaikan syukur karena telah diberi kekuatan untuk beribadah penuh hari itu.

Sering kita lihat di tayangan televisi suasana selama bulan Ramadhan di negara-negara lain, bahkan yang benar-benar negara muslim. Tidak ada keriuhan seperti yang kita saksinya di negara kita. Orang-orang membeli kebutuhan secukupnya dan sepantasnya. Pokoknya serba bertolak belakang dengan kondisi di negara kita yang orang-orangnya terlihat lebih heboh. Itu terlihat dari kenaikan harga selama puasa, hal yang seharusnya tidak terjadi dimana saat puasa seharusnya konsumsi menurun. Tapi kenyataannya tidak demikian. Hal itu terlihat dari kesibukan di pasar. Semua kebutuhan habis diborong. Semua ingin menyantap yang 'istimewa' selama bulan puasa. Orang-orang berbelanja habis-habisan lebih karena dorongan 'keinginan' bukan lagi 'kebutuhan'.

Bulan Ramadhan yang sejatinya adalah bulan di mana kita semua (muslim / non-muslim) melatih diri, kenapa yang ada malah umbar nafsu? Sedang menjalankan ibadah puasa atau 'puasa'?

Kamis, 26 Juli 2012

Ongkos

Hari itu cuaca cerah. Angkot yang kunaiki berjalan tenang tanpa hambatan dan aku tiba tepat waktu di perhentian untuk menunggu angkot yang membawakan ke kantor. Setelah turun, membayar ongkos dan menyeberang betapa beruntungnya karena angkot yang kutunggu itu bertepatan lewat. Maka dengan penuh semangat aku menyetopnya lalu naik lega karena hari ini bisa tiba lebih awal tanpa terjebak macet.

Namun ketika sampai di persimpangan di mana angkot yang kunaiki seharusnya berbelok ke kiri, ternyata dia tetap berjalan lurus. Aku pun lantas melihat nomor trayek yang tertera di angkot dan langsung menepok jidat dalam hati. Ternyata aku salah jurusan nih. Maka aku pun buru-buru meminta angkot menepi, membayar ongkos, dan berjalan cukup jauh untuk menunggu angkot yang benar.

Aku yakin kita semua pasti setidaknya pernah mengalami hal itu sekali di sepanjang hidup ini. Bahkan untuk yang sudah sehari-hari melalui jalur yang sama dengan angkot yang sama juga bisa salah. Banyak faktor yang menyebabkannya dan kurang teliti adalah salah satunya. Kita tak bisa menyalahkan angkot-angkot yang berseliweran dengan warna mirip, namun yang harus dilakukan adalah pertajam pandangan kita agar tidak salah.

Salah jurusan bukan hanya melulu saat memilih angkot, namun juga di dalam menjalani kehidupan ini. Berapa banyak dari kita yang merasa terperangkap dengan kehidupan yang tidak kita kehendaki. Ada yang mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan panggilan jiwa, dan lain-lain. Dan parahnya semua itu tidak gratis. Sama seperti aku yang tetap harus membayar ongkos meski salah jurusan, maka demikian juga kita di dalam kehidupan. Namun yang membedakan besarnya ongkos yang harus kita keluarkan adalah sejauh apa kita salah jurusan? Jika kita segera menyadarinya, maka ongkos yang harus kita keluarkan tentunya tidak sama dengan yang telat menyadarinya, kan?

Tapi itu kan kalau salah jurusan angkot, beda dong dengan salah jurusan kehidupan? Jawabannya adalah tetap sama. Ongkos yang kita keluarkan tetap berbeda besarnya tergantung seberapa cepat kita menyadari kekeliruan itu.

Ketika kita merasa 'salah jurusan' saat mendapatkan pekerjaan, maka sebenarnya ada dua pilihan. Segera menyadarinya atau pasrah mengikuti arus tanpa usaha lain. Kebanyakan dari kita akan berpikir jika sudah sadar salah jurusan maka harus berhenti dan berganti jurusan yang benar, namun itu tidak selalu menjadi solusi. Jurusan yang benar bukan melulu berwujud pekerjaan lain yang sesuai dengan kita, melainkan adalah cara pandang kita tentang pekerjaan itu.

Ketika sadar bahwa kita tidak sedang melakukan pekerjaan yang kita sukai, maka ongkos yang paling murah sebenarnya adalah segera belajar untuk menyukai pekerjaan itu. Ketimbang kita hanya menggerutu dan mengeluh tentang pekerjaan yang berakhir derita, maka membalikkan sikap untuk bisa menyukai pekerjaan itu akan memperingan ongkos kita. Syukur-syukur jika setelahnya kita bisa benar-benar menyukai pekerjaan itu. Jikalau pun memang kita tetap belum bisa menyukainya sepenuh hati, maka jiwa kita akan lebih tentram karena telah melakukan tanggung jawab sebaik-baiknya dan bukan tidak mungkin setelah ini kita bisa benar-benar melakukan hal yang kita sukai. Pintu selalu terbuka bagi orang yang punya pandangan jernih. Menghabiskan waktu mengeluh tidak akan mengantar kita kemana-mana selain memperberat ongkos kita. Dari segi material kita tidak akan berhasil mencapai apa pun karena kinerja yang jeblok. Dari segi spiritual maka kita tidak akan dikenal selain sebagai manusia pengeluh yang menyedihkan.

Sebenarnya ada begitu banyak hal di dalam hidup dan kita sendiri yang menentukan mau memandang sisi gelap atau terangnya. Tidak ada salahnya sesekali memandang sisi gelap sekedar untuk mengingatkan kita bahwa segala hal tetap menyimpan kejelekan, namun sangatlah tidak bijaksana jika kita memilih berdiam di sisi yang gelap itu. Semakin lama kita mendiaminya, maka ongkos yang kita keluarkan akan menjadi terlalu besar untuk bisa kita lunasi dengan waktu yang terus berkurang.

Hidayah

Sehari-hari aku memakai jasa mobil seribu umat alias angkot untuk berangkat kerja dan bepergian. Bagi yang bernasib sama denganku pasti tahu perasaan di dalam angkot yang beraneka ragam dan rasa (halah).

Ada kalanya kita kebetulan mendapatkan angkot yang sopirnya berjiwa keong yang lamban-nya minta ampun sehingga di sepanjang perjalanan kita jadi ketar ketir takut telat. Mau turun sih boleh saja, tapi siapa sih yang mau keluar ongkos dobel? Meskipun belum jauh tetap saja harus bayar. Kan sudah ada slogannya di semua angkot 'Naik gratis, turun bayar', jadi mending gak turun kan?

Namun tidak jarang kita juga mendapatkan angkot yang sopirnya berjiwa pembalap (atau lagi kesurupan) sehingga di sepanjang jalan jantung tak berhenti berdetak dan napas tertahan setiap kali si sopir melakukan aksinya meliuk-liuk mendahului atau menikung tajam. Pokoknya di sepanjang jalan kita semua mendadak jadi umat yang patuh dan ingat Tuhan, lho.

Nah yang mau kubahas di sini adalah sopir yang doyan ngebut. Kadang-kadang aku tidak habis pikir kenapa mereka harus se-ngebut itu? Toh tidak ada angkot lain yang satu jurusan di dekatnya. Toh penumpang di angkotnya sudah penuh. Toh sudah larut jadi untuk mengejar satu trayek lagi rasanya juga tidak mungkin akan keburu. Lantas apa sih yang membuat mereka kalap sebegitunya?

Beberapa waktu yang lalu aku kebetulan harus naik angkot yang sopirnya kalap sendiri ini. Di sepanjang jalan pastinya berdoa selain untuk keselamatan, juga agar si sopir itu diberi hidayah supaya tidak nekad kebut-kebutan lagi. Bayangkan saja tubuh-tubuh kami yang berguncang-guncang saat angkot mendadak digas atau direm. Bayangkan hela napas ketika angkot memotong kendaraan lain meliuk-liuk dalam kecepatan tinggi.

Selidik-punya selidik, ternyata sopir angkot yang masih terbilang masih muda itu lagi bareng pacarnya. Mungkin dia mau menunjukkan kehebatannya atau apalah dengan cara kebut-kebutan di jalan. Mungkin sang pacar akan terkesan pada kemachoannya karena kebut-kebutan? Entahlah. Singkat cerita dia terus saja ngebut serampangan di jalan.

Hingga akhirnya ketika dia sedang mendahului kendaraan lain, kebetulan dari arah berlawanan ada angkot yang berlari cukup kencang ke arah kami. Aku sudah ingin teriak saja, namun kedua angkot berhenti. Berhadapan di tengah jalan. Sopir angkotku yang masih merasa harus menunjukkan kehebatannya di depan sang pacar mulai mendekati angkot di hadapannya itu. Dengan penuh percaya diri dia menurunkan kaca jendela bermaksud memaki-maki sopir angkot lain yang sudah berani menghalangi jalannya itu. Namun baru saja dia akan memulai, semburan serapah sudah lebih dulu menghujaninya dari sopir angkot satunya yang penampilannya serupa raksasa.

Dan kalian tahu? Sopir angkotku yang cebol dan sok macho itu hanya diam mengkeret dan seperti anjing yang kalah bertarung bergerak perlahan menjauh sembari mengepit ekornya. Ya iyalah, siapa juga yang berani menghadapi Hulk?

Doa orang teraniaya emang selalu terkabul, ya.
Buktinya sopir angkot sombong itu langsung mendapat hidayah hihi...

Sugeng Rawuh

Hai para pembaca budiman...

Blog ini lahir setelah ada yang menanyakan kenapa cuma menampilkan kisah fiksi saja? Kenapa tidak dua-duanya yang fiksi dan non-fiksi? Saya memang menulis non-fiksi juga namun di media lain yang khusus dan sejak awal tidak ingin mencampur kedua genre tersebut di dalam satu rumah.

Meskipun rasa prihatin juga bisa disampaikan melalui fiksi, namun toh akhirnya aku melahirkan blog ini juga. Blog yang akan menampung semua pandangan dan pendapat pribadi (catat: pribadi) tentang hal-hal yang terjadi di sekitarku. Hal-hal yang mungkin terlalu remeh untuk diurusin. Hal-hal yang mungkin terlalu sensitif untuk dibahas dan lain-lain yang membuat sebagian orang memilih tutup mata dan pikiran. Aku akan membahas semua itu dengan harapan bisa membuka atau menambah pertimbangan kita di dalam memandang satu hal. Seremeh apa pun itu.

Jika ada yang merasa tersinggung atau tidak terima, sah-sah saja karena kita memang tidak harus punya satu pandangan. Namun yang pasti itu tidak akan menjadi alasan bagi kita untuk bermusuhan, kan? Oleh karenanya sekali lagi aku mengucapkan selamat datang dan selamat menikmati blog ini.

Salam,
chi eru