Rabu, 14 November 2012

Rumah di dalam Rumah


Di setiap aspek kehidupan kita, entah di sekolah, kampus, pekerjaan atau malah hubungan sosial sebenarnya sudah ada aturan yang dibuat. Aturan itu sudah mengikat untuk semuanya. Namun entah bagaimana selalu bisa muncul aturan di dalam aturan tadi. Misalnya : selain aturan umum yang berlaku di suatu perusahaan, maka masing-masing kepala bagian rupanya membuat aturan-aturan tambahan lagi yang khusus untuk mengatur wilayah wewenangnya.

Apakah salah jika terjadi hal tersebut?

Mula-mula kita harus terlebih dulu memahami kenapa bisa muncul sub-aturan tadi. Apa sebenarnya maksud dimunculkannya aturan tersebut. Pada dasarnya semua aturan dimaksudkan untuk kebaikan orang-orang yang berada di dalam lingkupnya, namun tentu tetap harus dipahami kenapa aturan itu harus ada. Selain itu tentunya sub-aturan itu tidak boleh bertentangan dengan aturan baku yang diberlakukan.

Namun satu hal yang harus dipahami oleh para pembuat sub-aturan itu adalah kemungkinan terjadinya pertentangan di dalam benak orang-orang yang diikat aturan tersebut sehingga bukan tidak mungkin malah akan membahayakan stabilitas wilayah wewenangnya, terlebih lagi jika ternyata sub-aturan yang dibuat terkesan terlalu membatasi atau semakin membebani pihak-pihak yang diikatnya itu.

Oleh karena itu ada baiknya jika seluruh aturan beserta sub-aturan itu diketahui, dipahami, dan dijalankan dengan baik oleh semua pihak sebagai aturan yang menyeluruh. Kan rasanya aneh plus tidak sehat jika masing-masing bagian menjadi alien bagi yang lain hanya karena terlalu banyak sub-aturan yang berbeda-beda sehingga rawan perpecahan.

Terlebih lagi jika ternyata maksud dimunculkannya sub-aturan itu hanya karena si atasan tidak ingin posisinya digoyahkan. Waduh, bakalan terjadi kudeta lho. Hehe…

Jumat, 31 Agustus 2012

Sebuah Dunia Impian Bernama Iklan


Iklan. Setiap hari kita semua rasanya tidak pernah luput darinya. Mulai dari bangun tidur hingga akhirnya tidur kembali. Atau jangan-jangan juga di dalam mimpi kita masih juga bertemu iklan? Ada yang seperti itu? Kalo aku sih... Yah nggak inget hehe.

Sudah puluhan tahun aku dan mungkin juga teman-teman dicekoki pemandangan indah nan menyilaukan yang dihadirkan lewat iklan, sampai-sampai pernah terbersit di pikiranku betapa enaknya jika bisa hidup di sana, di dunia iklan. Ya. Di mataku dunia yang dihadirkan oleh iklan-iklan itu begitu indah dan yah aku memang sering kali bermimpi untuk bisa tinggal di dalamnya.

Siapa yang tidak berminat untuk tinggal di dunia yang begitu damai, tertata dan ideal? Dunia di mana segala keajaiban terjadi dengan begitu mudahnya. Bayangkan kita yang di dunia nyata harus jungkir balik membersihkan lantai yang kotor meski menggunakan produk yang sama dengan yang diiklankan, sementara di iklan hanya dengan sekali usap seluruh lantai bersih seketika dan muncul bunga-bunga. Bahkan dunia sihir Harry Potter juga lewat.

Ingat-ingat juga kapan terakhir kali kita dihadiahi senyum manis dan pelayanan prima di tempat-tempat layanan umum pemerintah seperti di iklan-iklan itu? Nyaris tidak pernah. Apalagi dengan segala proses njelimet plus mahal yang harus kita lalui untuk mendapatkan pelayanan yang didengung-dengungkan mudah plus gratis di iklan. Dan yang paling gampang nih, kapan sih kita ketemu polisi yang ramah dan santun seperti yang ditampilkan di iklan-iklan layanan masyarakat itu? Yang ada kita bawaannya malah keder dan pengen kabur kalo ngeliat mereka.

Bahkan dengan segala kejadian miris yang ramai membanjiri kanal-kanal berita jujur saja membuatku beneran tidak nyaman dan sangat yakin ini bukan dunia yang kita mau. Apakah memang cita-cita kita untuk hidup di dunia yang manusianya menganggap nyawa tidak berharga sehingga memperlakukannya seenak hati? Semua itu tentunya juga bertolak belakang dengan iklan-iklan yang menampilkan sosok-sosok manusia berhati mulia yang siap membantu sesama dengan senyum tulus terkembang di wajah. Iklan-iklan yang menampilkan orang-orang yang sejuk tanpa terbersit kebencian. Bertolak belakang sekali dengan kenyataan.

Ah, tapi itu kan cuma iklan...

Mungkin begitulah pandangan sinis beberapa orang, tapi menurutku mereka lupa satu hal. Iklan sebenarnya bukanlah hanya alat komersil untuk menjebak orang-orang dengan kemilaunya. Menurutku iklan, apa pun bentuknya adalah semacam manifestasi harapan dan impian orang-orang akan dunia yang ideal tadi.

Dan jujur saja dengan semakin tipisnya kenyamanan saat berusaha memandang realita kehidupan yang dipajang di kanal-kanal, aku jadi lebih suka manteng iklan. Lebih sejuk buat mata, pikiran, dan jiwaku. Halah!

Sabtu, 25 Agustus 2012

Mereka yang pernah hadir : Lima Sekawan bag.3


Ada banyak kucing-kucing di sekitar kami. Tetangga kami juga memelihara kucing, tapi mungkin perlakuan mereka tidak sama seperti kami. Bisa dibilang kami terlalu memanjakan binatang-binatang egois itu sampai pada level yang berbahaya *lebay*.

Kucing-kucing di rumah kami makan bukan dari sisa makanan kami. Meskipun tidak memakan catfood kalengan yang harganya pasti tidak terlalu bersahabat buat kami saat itu. Kami selalu membelikan mereka ikan khusus, hingga akhirnya Nyokap memutuskan berlangganan dengan seorang tukang ikan keliling supaya tidak terlalu repot tentang kesediaan bahan makanan kucing peliharaan kami.

Hingga pada suatu hari, entah bagaimana kucing-kucing itu mulai berguguran satu per satu. Mungkin keracunan ikan atau entah apa karena anjing kami yang juga memakan ikan yang sama tidak mengalami kejadian aneh. Mungkin karena kucing-kucing itu awalnya berasal dari jalanan sehingga sudah membawa penyakit masing-masing.

Kucing yang pertama mati adalah Piko. Dia aku temukan tergolek di lantai dekat kamar mandi saat aku akan mandi di pagi itu. Lalu beberapa hari kemudian Nike menghilang sebelum akhirnya kami temukan dia tergolek mati di dalam bak kosong di sebelah rumah. Kesedihan kami masih belum berakhir karena suatu hari hidung Bopi selalu mengeluarkan darah segar dan dia pun menyusul mati.

Hingga suatu hari saat kami pulang sekolah, Nyokap menyambut dengan mata sembab dan mengabarkan Bola juga sudah mati. Kami sekeluarga pun berkabung atas kejadian itu. Ketika yang tersisa akhirnya Tauco, kami selalu diliputi kecemasan tentang kapan dia akan menyusul teman-temannya yang lain. Tapi dia masih bertahan, meskipun kondisinya tidak terlalu baik. Kami berusaha merawatnya, memberinya makan, bahkan mengobatinya. Dan ketika kondisinya terlihat mulai membaik, mendadak saja dia menghilang. Berhari-hari kami mencarinya hingga ketika akhirnya menemukannya juga sudah dalam kondisi tak bernyawa.

Saat itu kami tak lelah mengutuki tukang ikan yang mungkin begitu tega tetap menjual ikan-ikan yang sudah tidak layak dan Nyokap berhenti berlangganan dengannya. Terlepas apakah memang ikan itu yang menjadi biang kerok atau bukan, tapi kami terlanjur patah hati atas kehilangan yang terlalu beruntun itu.

Bahkan sampai sekarang aku masih bersedih jika mengingatnya...