Selasa, 31 Juli 2012

Kenapa cuma saat Ramadhan?

Ramadhan sudah sepertiga jalan dan suasananya semakin riuh dengan ramainya undangan-undangan Buka Bersama. Tidak jarang kita mendapat beberapa undangan berbuka dari kelompok teman yang berbeda-beda. Dan itu bukan hanya terpusat bagi yang menjalankan ibadah Puasa, yang tidak puasa juga acapkali ikut-ikutan heboh kalo udah urusan kumpul-kumpul saat buka bersama.

Aku juga sudah berbuka bersama dengan teman-teman kuliahku dulu dan jujur saja meski awalnya cuma untuk kumpul-kumpul toh tetap saja si pemilik ide (panitia) agak senewen. Senewen mencari tempat berbuka yang asik plus menu dan harga. Senewen soal pengaturan agar tidak ada yang terlambat apalagi lalulintas menjelas berbuka biasanya kurang bersabahabat. Yah semacam itulah. Aku sih senang-senang saja menghadiri acara-acara semacam itu, berkumpul dan bertukar kabar dengan teman-teman atau istilahnya bersilaturahmi.

Tapi yang jadi pertanyaan adalah 'Kenapa cuma saat Ramadhan?'

Sebenarnya bukan hanya bersilaturahmi dengan teman-teman, bahkan dengan segala atribut dan kegiatan yang mengetengahkan hal-hal berbau rohani. Yang biasanya hobi buka-bukaan maka selama Ramadhan mendadak mahir berbusana sopan. Yang biasanya selalu tersesat kalau mau ke rumah ibadah, mendadak jadi aktif. Orang-orang jadi giat 'belajar' kembali tentang isi kitabnya. Apakah kita hanya tergerak melakukan semua itu saat Ramadhan? Apakah rasanya kurang pas jika kita melakukannya sepanjang tahun? Apakah karena di bulan Ramadhan pahalanya lebih besar dan karenanya kita merasa 'sia-sia' jika melakukannya di hari-hari lain?

Apalagi mungkin demi acara 'silaturahmi mumpung Ramadhan' itu tidak jarang orang-orang jadi melupakan hakikat ibadah itu sendiri. Ada yang pengen 'silaturahmi' di tempat mentereng dan bergengsi, tak masalah harga selangit. Pokoknya yang penting wah. Padahal kalo emang tujuannya bersilaturahmi tidak masalah dimana. Tidak perlu juga makanan yang semewah gimana. Di rumah sendiri malah lebih bagus, sembari menikmati santapan yang wajar sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga besar. Jadi kadang orang suka lupa konsep berpuasa yang menahan hawa nafsu (termasuk nafsu berpamer), dan malah terang-terangan mengumbar nafsu.

Entahlah. Tapi secara pribadi aku berharap semua itu tidak hanya saat Ramadhan. Kenapa tidak sepanjang tahun, setiap hari, sepanjang waktu? Bukankah dengan 'suasana Ramadhan' sepanjang tahun mudah-mudahan kehidupan juga lebih damai? Orang-orang akan tetap menjaga hawa nafsu, menjaga tali silaturahmi dan memiliki keluasan hati untuk selalu berbagi.

Ah, entah kapan...??

Jumat, 27 Juli 2012

Puasa atau 'Puasa'?

Hari ini seperti biasa aku pulang diantar angkot yang baik hati. Ya, baik hati karena meskipun penumpangnya belum terlalu penuh, namun pak sopir tetap membawa angkot dengan kecepatan yang wajar. Kecepatan yang tidak akan mengaduk-aduk isi perut dan kepala. Jika aku saja yang tidak menjalankan ibadah puasa bisa mual dan pusing, lah gimana lagi dengan penumpang lain yang mungkin sedang berpuasa?

Syukurlah hal itu tidak terjadi, terima kasih kepada sopir angkot yang baik hati.

Namun lepas dari penderitaan guncangan di angkot serampangan, maka muncul lagi derita lainnya. Kok bisa? Iya tuh, soalnya di sepanjang jalan sudah berderet dengan manis para penjaja makanan untuk berbuka. Beraneka ragam makanan kecil hingga yang berat berjejer rapi memamerkan hidangan warna warni beragam bentuk yang jujur saja membuat liurku menitik.

Waduh, aku yang tidak berpuasa ajah rasanya pengen menghambur turun menghampiri kue-kue yang rasanya pasti enak itu, gimana dengan yang puasa ya? Oke, itu tadi hanya di benakku saja yang emang suka keranjingan malah paling rajin mengingatkan staff yang berpuasa untuk berburu tajil (aku pastinya ikutan nitip hihi).

Namun kejadian itu lantas membuatku malu sendiri sekaligus semakin kagum dengan orang-orang yang sanggup menjalankan ibadah berpuasa tanpa terpengaruh dengan pajangan yang memancing liur itu. Mereka bisa dengan bersahaja beribadah bahkan di saat berbuka tidak lantas menuruti hawa nafsunya untuk menyantap makanan dengan berlebihan. Berapa banyak kita lihat orang-orang yang begitu bernafsu dan lupa diri kala waktu berbuka tiba? Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu berbuka untuk bersantap sepuasnya dan melupakan sholat. Bagi mereka bersantap lebih penting ketimbang 'menghadap' kepadaNya sekedar untuk menyampaikan syukur karena telah diberi kekuatan untuk beribadah penuh hari itu.

Sering kita lihat di tayangan televisi suasana selama bulan Ramadhan di negara-negara lain, bahkan yang benar-benar negara muslim. Tidak ada keriuhan seperti yang kita saksinya di negara kita. Orang-orang membeli kebutuhan secukupnya dan sepantasnya. Pokoknya serba bertolak belakang dengan kondisi di negara kita yang orang-orangnya terlihat lebih heboh. Itu terlihat dari kenaikan harga selama puasa, hal yang seharusnya tidak terjadi dimana saat puasa seharusnya konsumsi menurun. Tapi kenyataannya tidak demikian. Hal itu terlihat dari kesibukan di pasar. Semua kebutuhan habis diborong. Semua ingin menyantap yang 'istimewa' selama bulan puasa. Orang-orang berbelanja habis-habisan lebih karena dorongan 'keinginan' bukan lagi 'kebutuhan'.

Bulan Ramadhan yang sejatinya adalah bulan di mana kita semua (muslim / non-muslim) melatih diri, kenapa yang ada malah umbar nafsu? Sedang menjalankan ibadah puasa atau 'puasa'?

Kamis, 26 Juli 2012

Ongkos

Hari itu cuaca cerah. Angkot yang kunaiki berjalan tenang tanpa hambatan dan aku tiba tepat waktu di perhentian untuk menunggu angkot yang membawakan ke kantor. Setelah turun, membayar ongkos dan menyeberang betapa beruntungnya karena angkot yang kutunggu itu bertepatan lewat. Maka dengan penuh semangat aku menyetopnya lalu naik lega karena hari ini bisa tiba lebih awal tanpa terjebak macet.

Namun ketika sampai di persimpangan di mana angkot yang kunaiki seharusnya berbelok ke kiri, ternyata dia tetap berjalan lurus. Aku pun lantas melihat nomor trayek yang tertera di angkot dan langsung menepok jidat dalam hati. Ternyata aku salah jurusan nih. Maka aku pun buru-buru meminta angkot menepi, membayar ongkos, dan berjalan cukup jauh untuk menunggu angkot yang benar.

Aku yakin kita semua pasti setidaknya pernah mengalami hal itu sekali di sepanjang hidup ini. Bahkan untuk yang sudah sehari-hari melalui jalur yang sama dengan angkot yang sama juga bisa salah. Banyak faktor yang menyebabkannya dan kurang teliti adalah salah satunya. Kita tak bisa menyalahkan angkot-angkot yang berseliweran dengan warna mirip, namun yang harus dilakukan adalah pertajam pandangan kita agar tidak salah.

Salah jurusan bukan hanya melulu saat memilih angkot, namun juga di dalam menjalani kehidupan ini. Berapa banyak dari kita yang merasa terperangkap dengan kehidupan yang tidak kita kehendaki. Ada yang mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan panggilan jiwa, dan lain-lain. Dan parahnya semua itu tidak gratis. Sama seperti aku yang tetap harus membayar ongkos meski salah jurusan, maka demikian juga kita di dalam kehidupan. Namun yang membedakan besarnya ongkos yang harus kita keluarkan adalah sejauh apa kita salah jurusan? Jika kita segera menyadarinya, maka ongkos yang harus kita keluarkan tentunya tidak sama dengan yang telat menyadarinya, kan?

Tapi itu kan kalau salah jurusan angkot, beda dong dengan salah jurusan kehidupan? Jawabannya adalah tetap sama. Ongkos yang kita keluarkan tetap berbeda besarnya tergantung seberapa cepat kita menyadari kekeliruan itu.

Ketika kita merasa 'salah jurusan' saat mendapatkan pekerjaan, maka sebenarnya ada dua pilihan. Segera menyadarinya atau pasrah mengikuti arus tanpa usaha lain. Kebanyakan dari kita akan berpikir jika sudah sadar salah jurusan maka harus berhenti dan berganti jurusan yang benar, namun itu tidak selalu menjadi solusi. Jurusan yang benar bukan melulu berwujud pekerjaan lain yang sesuai dengan kita, melainkan adalah cara pandang kita tentang pekerjaan itu.

Ketika sadar bahwa kita tidak sedang melakukan pekerjaan yang kita sukai, maka ongkos yang paling murah sebenarnya adalah segera belajar untuk menyukai pekerjaan itu. Ketimbang kita hanya menggerutu dan mengeluh tentang pekerjaan yang berakhir derita, maka membalikkan sikap untuk bisa menyukai pekerjaan itu akan memperingan ongkos kita. Syukur-syukur jika setelahnya kita bisa benar-benar menyukai pekerjaan itu. Jikalau pun memang kita tetap belum bisa menyukainya sepenuh hati, maka jiwa kita akan lebih tentram karena telah melakukan tanggung jawab sebaik-baiknya dan bukan tidak mungkin setelah ini kita bisa benar-benar melakukan hal yang kita sukai. Pintu selalu terbuka bagi orang yang punya pandangan jernih. Menghabiskan waktu mengeluh tidak akan mengantar kita kemana-mana selain memperberat ongkos kita. Dari segi material kita tidak akan berhasil mencapai apa pun karena kinerja yang jeblok. Dari segi spiritual maka kita tidak akan dikenal selain sebagai manusia pengeluh yang menyedihkan.

Sebenarnya ada begitu banyak hal di dalam hidup dan kita sendiri yang menentukan mau memandang sisi gelap atau terangnya. Tidak ada salahnya sesekali memandang sisi gelap sekedar untuk mengingatkan kita bahwa segala hal tetap menyimpan kejelekan, namun sangatlah tidak bijaksana jika kita memilih berdiam di sisi yang gelap itu. Semakin lama kita mendiaminya, maka ongkos yang kita keluarkan akan menjadi terlalu besar untuk bisa kita lunasi dengan waktu yang terus berkurang.

Hidayah

Sehari-hari aku memakai jasa mobil seribu umat alias angkot untuk berangkat kerja dan bepergian. Bagi yang bernasib sama denganku pasti tahu perasaan di dalam angkot yang beraneka ragam dan rasa (halah).

Ada kalanya kita kebetulan mendapatkan angkot yang sopirnya berjiwa keong yang lamban-nya minta ampun sehingga di sepanjang perjalanan kita jadi ketar ketir takut telat. Mau turun sih boleh saja, tapi siapa sih yang mau keluar ongkos dobel? Meskipun belum jauh tetap saja harus bayar. Kan sudah ada slogannya di semua angkot 'Naik gratis, turun bayar', jadi mending gak turun kan?

Namun tidak jarang kita juga mendapatkan angkot yang sopirnya berjiwa pembalap (atau lagi kesurupan) sehingga di sepanjang jalan jantung tak berhenti berdetak dan napas tertahan setiap kali si sopir melakukan aksinya meliuk-liuk mendahului atau menikung tajam. Pokoknya di sepanjang jalan kita semua mendadak jadi umat yang patuh dan ingat Tuhan, lho.

Nah yang mau kubahas di sini adalah sopir yang doyan ngebut. Kadang-kadang aku tidak habis pikir kenapa mereka harus se-ngebut itu? Toh tidak ada angkot lain yang satu jurusan di dekatnya. Toh penumpang di angkotnya sudah penuh. Toh sudah larut jadi untuk mengejar satu trayek lagi rasanya juga tidak mungkin akan keburu. Lantas apa sih yang membuat mereka kalap sebegitunya?

Beberapa waktu yang lalu aku kebetulan harus naik angkot yang sopirnya kalap sendiri ini. Di sepanjang jalan pastinya berdoa selain untuk keselamatan, juga agar si sopir itu diberi hidayah supaya tidak nekad kebut-kebutan lagi. Bayangkan saja tubuh-tubuh kami yang berguncang-guncang saat angkot mendadak digas atau direm. Bayangkan hela napas ketika angkot memotong kendaraan lain meliuk-liuk dalam kecepatan tinggi.

Selidik-punya selidik, ternyata sopir angkot yang masih terbilang masih muda itu lagi bareng pacarnya. Mungkin dia mau menunjukkan kehebatannya atau apalah dengan cara kebut-kebutan di jalan. Mungkin sang pacar akan terkesan pada kemachoannya karena kebut-kebutan? Entahlah. Singkat cerita dia terus saja ngebut serampangan di jalan.

Hingga akhirnya ketika dia sedang mendahului kendaraan lain, kebetulan dari arah berlawanan ada angkot yang berlari cukup kencang ke arah kami. Aku sudah ingin teriak saja, namun kedua angkot berhenti. Berhadapan di tengah jalan. Sopir angkotku yang masih merasa harus menunjukkan kehebatannya di depan sang pacar mulai mendekati angkot di hadapannya itu. Dengan penuh percaya diri dia menurunkan kaca jendela bermaksud memaki-maki sopir angkot lain yang sudah berani menghalangi jalannya itu. Namun baru saja dia akan memulai, semburan serapah sudah lebih dulu menghujaninya dari sopir angkot satunya yang penampilannya serupa raksasa.

Dan kalian tahu? Sopir angkotku yang cebol dan sok macho itu hanya diam mengkeret dan seperti anjing yang kalah bertarung bergerak perlahan menjauh sembari mengepit ekornya. Ya iyalah, siapa juga yang berani menghadapi Hulk?

Doa orang teraniaya emang selalu terkabul, ya.
Buktinya sopir angkot sombong itu langsung mendapat hidayah hihi...

Sugeng Rawuh

Hai para pembaca budiman...

Blog ini lahir setelah ada yang menanyakan kenapa cuma menampilkan kisah fiksi saja? Kenapa tidak dua-duanya yang fiksi dan non-fiksi? Saya memang menulis non-fiksi juga namun di media lain yang khusus dan sejak awal tidak ingin mencampur kedua genre tersebut di dalam satu rumah.

Meskipun rasa prihatin juga bisa disampaikan melalui fiksi, namun toh akhirnya aku melahirkan blog ini juga. Blog yang akan menampung semua pandangan dan pendapat pribadi (catat: pribadi) tentang hal-hal yang terjadi di sekitarku. Hal-hal yang mungkin terlalu remeh untuk diurusin. Hal-hal yang mungkin terlalu sensitif untuk dibahas dan lain-lain yang membuat sebagian orang memilih tutup mata dan pikiran. Aku akan membahas semua itu dengan harapan bisa membuka atau menambah pertimbangan kita di dalam memandang satu hal. Seremeh apa pun itu.

Jika ada yang merasa tersinggung atau tidak terima, sah-sah saja karena kita memang tidak harus punya satu pandangan. Namun yang pasti itu tidak akan menjadi alasan bagi kita untuk bermusuhan, kan? Oleh karenanya sekali lagi aku mengucapkan selamat datang dan selamat menikmati blog ini.

Salam,
chi eru