Kamis, 26 Juli 2012

Ongkos

Hari itu cuaca cerah. Angkot yang kunaiki berjalan tenang tanpa hambatan dan aku tiba tepat waktu di perhentian untuk menunggu angkot yang membawakan ke kantor. Setelah turun, membayar ongkos dan menyeberang betapa beruntungnya karena angkot yang kutunggu itu bertepatan lewat. Maka dengan penuh semangat aku menyetopnya lalu naik lega karena hari ini bisa tiba lebih awal tanpa terjebak macet.

Namun ketika sampai di persimpangan di mana angkot yang kunaiki seharusnya berbelok ke kiri, ternyata dia tetap berjalan lurus. Aku pun lantas melihat nomor trayek yang tertera di angkot dan langsung menepok jidat dalam hati. Ternyata aku salah jurusan nih. Maka aku pun buru-buru meminta angkot menepi, membayar ongkos, dan berjalan cukup jauh untuk menunggu angkot yang benar.

Aku yakin kita semua pasti setidaknya pernah mengalami hal itu sekali di sepanjang hidup ini. Bahkan untuk yang sudah sehari-hari melalui jalur yang sama dengan angkot yang sama juga bisa salah. Banyak faktor yang menyebabkannya dan kurang teliti adalah salah satunya. Kita tak bisa menyalahkan angkot-angkot yang berseliweran dengan warna mirip, namun yang harus dilakukan adalah pertajam pandangan kita agar tidak salah.

Salah jurusan bukan hanya melulu saat memilih angkot, namun juga di dalam menjalani kehidupan ini. Berapa banyak dari kita yang merasa terperangkap dengan kehidupan yang tidak kita kehendaki. Ada yang mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan panggilan jiwa, dan lain-lain. Dan parahnya semua itu tidak gratis. Sama seperti aku yang tetap harus membayar ongkos meski salah jurusan, maka demikian juga kita di dalam kehidupan. Namun yang membedakan besarnya ongkos yang harus kita keluarkan adalah sejauh apa kita salah jurusan? Jika kita segera menyadarinya, maka ongkos yang harus kita keluarkan tentunya tidak sama dengan yang telat menyadarinya, kan?

Tapi itu kan kalau salah jurusan angkot, beda dong dengan salah jurusan kehidupan? Jawabannya adalah tetap sama. Ongkos yang kita keluarkan tetap berbeda besarnya tergantung seberapa cepat kita menyadari kekeliruan itu.

Ketika kita merasa 'salah jurusan' saat mendapatkan pekerjaan, maka sebenarnya ada dua pilihan. Segera menyadarinya atau pasrah mengikuti arus tanpa usaha lain. Kebanyakan dari kita akan berpikir jika sudah sadar salah jurusan maka harus berhenti dan berganti jurusan yang benar, namun itu tidak selalu menjadi solusi. Jurusan yang benar bukan melulu berwujud pekerjaan lain yang sesuai dengan kita, melainkan adalah cara pandang kita tentang pekerjaan itu.

Ketika sadar bahwa kita tidak sedang melakukan pekerjaan yang kita sukai, maka ongkos yang paling murah sebenarnya adalah segera belajar untuk menyukai pekerjaan itu. Ketimbang kita hanya menggerutu dan mengeluh tentang pekerjaan yang berakhir derita, maka membalikkan sikap untuk bisa menyukai pekerjaan itu akan memperingan ongkos kita. Syukur-syukur jika setelahnya kita bisa benar-benar menyukai pekerjaan itu. Jikalau pun memang kita tetap belum bisa menyukainya sepenuh hati, maka jiwa kita akan lebih tentram karena telah melakukan tanggung jawab sebaik-baiknya dan bukan tidak mungkin setelah ini kita bisa benar-benar melakukan hal yang kita sukai. Pintu selalu terbuka bagi orang yang punya pandangan jernih. Menghabiskan waktu mengeluh tidak akan mengantar kita kemana-mana selain memperberat ongkos kita. Dari segi material kita tidak akan berhasil mencapai apa pun karena kinerja yang jeblok. Dari segi spiritual maka kita tidak akan dikenal selain sebagai manusia pengeluh yang menyedihkan.

Sebenarnya ada begitu banyak hal di dalam hidup dan kita sendiri yang menentukan mau memandang sisi gelap atau terangnya. Tidak ada salahnya sesekali memandang sisi gelap sekedar untuk mengingatkan kita bahwa segala hal tetap menyimpan kejelekan, namun sangatlah tidak bijaksana jika kita memilih berdiam di sisi yang gelap itu. Semakin lama kita mendiaminya, maka ongkos yang kita keluarkan akan menjadi terlalu besar untuk bisa kita lunasi dengan waktu yang terus berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar